MASJID-MAKAM, MASJID-INFAQ, MASJID-BISNIS, DAN SEKOLAH-MASJID INSIDE
Sekolah-Masjid Inside |
Masjid di
Bali
Menarik untuk mencermati keberadaan masjid-masjid di
Bali. Saya akan menggunakan empat istilah untuk menggambarkan keberadaan masjid
di pulau dewata, pulau para dewa. Keberadaan masjid di Bali mencerminkan pola
keberadaan masjid dan pola pemikiran para pengelola masjid. Penulis ingin
mengidentifikasi pola masjid menjadi empat pola. Pola pertama adalah
Masjid-Makam, kedua Masjid-Infaq, ketiga adalah Masjid-Bisnis, dan pola keempat adalah Sekolah-Masjid Inside.
Masjid-Infaq
Bali, pulau
sejuta pura, ternyata tidak dapat diabaikan dengan keberadaan masjidnya yang
terdistribusikan di delapan kabupaten dan satu kota madya. Seperti lazimnya
masjid-masjid di daerah lain di Indonesia, masjid di Bali mendapat pasokan dana
infaq dari para donatur yang dimasukkan ke dalam kotak infaq yang disediakan. Kotak infaq ini juga selalu diedarkan ketika hari Jumat saat para jamaah duduk dzikir sambil menunggu khutbah Jumah. Kotak
Amal ini berupa kotak (dapat terbuat dari kayu maupun dari aluminium yang
lazimnya diletakkan di depan pintu masjid, untuk kotak amal permanen, yang
tidak usah digeser kesana kemari, karena bentuknya memang cukup besar – besok lengkapi dengan foto kotak amal yang
ada di masjid). Ada juga kotak amal yang selalu diedarkan (disodorkan di
depan orang yang sedang menunggu waktu ibadah Jumat (khutbah Jumah dan shalat
Jumat). Hasil kotak amal ini akan digunakan oleh pengurus masjid untuk
membiayai operasional masjid seperti membayar rekening air, rekening listrik,
dana kebersihan masjid, dana khotib dll.
Masjid-Makam
Di Bali, ada beberapa masjid (di bawah
Yayasan) yang mengelola jasa tanah makam. Maklum tanah di Bali (khususnya di
ibu kota Provinsi dan Badung Selatan) sangat mahal. Untuk itulah Yayasan masjid
yang memiliki dan menguasai tanah pemakaman biasanya “membisniskan” makam yang
memang sangat terbatas. Masjid yang tidak memiliki tanah makam akhirnya bekerja
sama dengan Yayasan Masjid yang memiliki dan mengelola tanah makam. Jamaah
masjid yang tidak memiliki tanah makam mewajibkan jamaahnya untuk membayar uang
pangkal (seperti sekolah saja) dan membayar iuran yang besarnya ditentukan oleh
Yayasan masjid dan pengurus RKI – Rukun Kematian Islam atau Rukun Kifayah
Islam.
Masjid-Bisnis
Tidak semua
masjid di Bali hanya sekedar mengandalkan donasi jamaah untuk dana
operasionalnya. Ada beberapa yang memiliki asset, sehingga untuk mendanai kegiatan
masjid dapat diambil dari hasil usaha bisnis.
Ada
dua masjid di Denpasar, yang
dapat dikelompokkan kedalam Masjid-Bisnis
yakni masjid Baitul Makmur dan Masjid Raya Ukhuwah. Masjid Raya Ukhuwah memang
berdiri di tengah-tengah pusat bisnis di jantung kota Denpasar.
Kedua masjid
itu, sama-sama memiliki lahan yang bangunannya dikontrakkan kepada para
pedagang muslim.
Masjid Baitul Makmur berdiri sekitar 1980-an, bersamaan
dengan dibangunnya komplek perumahan di kawasan Monang Maning, Denpasar. Saat itu, PT Perumnas menyediakan lahan masing-masing seluas 1.000 meter
persegi untuk mendirikan tempat ibadah.
Tanah yang disediakan untuk ummat
Islam sekitar 900 meter persegi, yang kemudian dibangunkan masjid yang diberi
nama Baitul Makmur.
Waktu itu pemerintah melalui Yayasan Amal
Muslim Pancasila menyediakan dana untuk membangun masjid yang memiliki luas lahan
minimal 1000 meter persegi (www.republika.co.id). Karena tanah
yang dimiliki Masjid Baitul Makmur hanya 900 persegi, maka dilakukan pembebasan
tanah di sebelahnya.
Kini Masjid Baitul Makmur memiliki luas lahan sekitar
2.900 meter persegi, dengan bangunan bertingkat tiga.
Karena
sehari-hari Masjid Baitul Makmur juga harus membiayai kegiatannya, dari mulai
mendanai marbot, mendanai imam masjid dan petugas
keamanan, dana imam Jumat atau mubaligh yang mengisi acara kajian
Ahad atau hari lainnya. Karena hanya mengandalkan uang kotak amal, Masjid
Baitul Makmur merasa kesulitan mendanai kegiatan-kegiatannya. Oleh karena itu lahan yang masih tersisa dikelola, dijadikan
tempat bisnis, berjualan bagi jamaah masjid yang berkenan. Beruntung lokasi Masjid
Baitul Makmur berdampingan dengan perguruan Muhammadiyah, yang senantiasa
diramaikan wali murid yang mengantar, menunggu dan menjemput anak-anaknya,
sehingga sangat laris dijadikan tempat berjualan.
Ada 20 petak tempat
berjualan yang dibuat oleh Yayasan Baitul Makmur dan semuanya habis disewa.
Sebulan para pedagang harus membayar Rp 500 ribu atau sekitar enam juta setahun
dan itu berarti pemasukan dari menyewakan kios mencapai Rp 120 juta setahun
(www.republika.co.id).
Dibandingkan dengan hasil kotak amal, pemasukan dari
menyewakan kios ini terbilang masih kecil. Menurut sumber yang dapat dipercaya,
meskipun masih dominan dari hasil kotak amal, pemasukan masjid Raya Ukhuwah yang
berada di pusat kota Denpasar itu juga bersumber dari menyewakan toko yang
dibangun di lantai bawah masjid.
Persis di bawah mimbar dan tempat shalat
imam. Bagian itu berada di sebelah barat, di tepi jalan Sulawesi Depasar yang
menjadi salah satu pusat bisnis di Denpasar.
Dengan menyewakan lima kios yang
ada, Masjid Ukhuwah bisa mendapatkan pemasukan mencapai Rp 125 juta sebulan,
sebagaimana ditulis Republika (www.republika.co.id).
Namun pemasukan itu
masih bisa lebih besar lagi, dengan adanya tambahan dari sekolah taman
kanak-kanak yang dimiliki masjid itu, sebulannya mencapai Rp 8 juta.
Selain untuk membiayai kegiatan operasional masjid, dana yang diperoleh
Yayasan Ukhuwah juga sebagian disubsidikan ke masjid-masjid lainnya yang
memerlukan biaya pembangunan. Namun dana yang diambil adalah dana dari hasil
usaha dan dana hasil kotak amal.
Masjid Ukhuwah juga memiliki asset
tanah wakaf seluas 4000 meterpersegi. Lantaran yang letaknya kuran strategis
dan tidak dapat difungsikan, tanah itu dijual dan hasil penjualannya yang
mencapai Rp 6 milyar untuk sementara disimpan.
Dana itu tidak
boleh digunakan untuk keperluan lain, terkecuali untuk pengadaan asset tanah. Masjid
Ukhuwah yang berusia lebih dari 100 tahun, sempat memiliki usaha koperasi dan
tokoh buku, serta toko busana muslim dan muslimah. Namun belakangan usaha itu
dihentikan dan tempat usahanya disewakan kepada pihak ketiga (sumber: Republika.com: www.republika.co.id).
Sekolah-Masjid inside
Pola pikir ummat
Islam Bali yang menarik dicermati adalah pola Sekolah-Masjid. Mengapa pola yang ditampilkan dalam tulisan ini
Sekolah-Masjid?. Kenapa tidak Masjid-Sekolah? Jika kita menyaksikan Masjid-Infaq maka yang tampak dari luar
adalah bangunan masjidnya. Sebaliknya dengan
sekolah-masjid, yang menonjol adalah lembaga pendidikannya alias sekolah. Menonjol
di sini dalam arti, orang luar (baik Muslim maupun non) lebih mengenal
sekolahnya dari pada masjidnya. Lihatlah sebagai contoh Perguruan Muhammadiyah
Denpasar. Orang luar lebih mengenal sekolah Muhammadiyah, padahal di dalam
sekolah itu ada juga masjidnya, masjid
inside. Lihatlah misalnya sekolah Muhammadiyah di jalan Imam Bonjol
Denpasar, di Jalan Batanta Br. Sebelanga, dan sekolah Muhammadiyah di jalan
Halmahera. Masjid inside menjadi trade mark sekolah Muhammadiyah Denpasar Bali
(dan juga perguruan Muhammadiyah di Nusantara).
Masjid-Makam, Masjid-Infaq, Masjid-Bisnis, Sekolah-Masjid Inside
Masjid-Makam, Masjid-Infaq, Masjid-Bisnis, Sekolah-Masjid Inside
MASJID-MAKAM, MASJID-INFAQ, MASJID-BISNIS, DAN SEKOLAH-MASJID INSIDE
a nice article
ReplyDeleteoh ternyata.....
ReplyDeletegood luck. it's a good article
ReplyDeletehttp://rbuanasari.blogspot.com
can you use the article for your 'credit point' of your civil servant?
ReplyDeletesujud ku pada MU.....
ReplyDelete