MUHAMMADIYAH:
GERAKAN REFORMIS ISLAM INDONESIA[1]
Majid Wajdi[2]
Sembilan puluh delapan (98) tahun
yang lalu, tepatnya 18 November 1912, seorang yang bernama Kiai Haji Ahmad
Dahlan membuat terobosan baru untuk membangkitkan kesadaran bangsa Indonesia
dari kebodohan dengan membangun sebuah organisasi sosial pendidikan yang diberi
nama Muhammadiyah. Bahkan sebelumnya, yakni tanggal 1 Desember 1911 Ahmad
Dahlan telah merintis mendirikan sekolah dasar (SD) di lingkungan Kraton
Yogyakarta. Sekolah ini merupakan
sekolah Islam swasta pertama yang memenuhi persyaratan untuk mendapat subsidi
dari pemerintah Hindia Belanda.
Kebangkitan kesadaran sebagai bangsa
yang dipelopori Ahmad Dahlan membawa dampak yang sangat luas, sehingga dari
kalangan ummat Islam tergerak untuk melahirkan organisasi sejenis yaitu
Persyarikatan Ulama di Majalengka (1915), Persatuan Islam di Bandung (1923),
Nahdlatul Ulama di Surabaya (1926), dan Al-Wasliyah di Medan (1930). Di samping itu, sepuluh tahun kemudian,
di Yogyakarta Ki Hajar Dewantara, mantan ketua Sarikat Islam Bandung terilhami
untuk mendirikan gerakan di bidang pendidikan yang diberi nama Taman Siswa
(1922). Dari sekian banyak gerakan yang didirikan, Muhammadiyah adalah sebuah
gerakan yang sangat berpengaruh, sebuah titipan yang membangkitkan kesadaran
perlunya menangani pembinaan kaderisasi bangsa secara intensif. Kebangkitan
Muhammadiyah merupakan tonggak sejarah pembaruan jawaban ummat Islam Indonesia
terhadap penindasan imperialism. Ahmad Dahlan melakukan upaya ini melalui
organisasi sosial pendidikan, bukan konfrontasi dengan mengangkat senjata
melawan penjajahan. Hal ini dilatarbelakangi oleh kondisi Timur Tengah yang
sedang dalam keretakan yang parah. Kesultanan Turki (1055—1925) dalam keadaan
sakit. Nasionalisme Arab dan upaya imperialismi Barat yakni Inggris dan
Perancis mulai melemahkan Sultan Turki sebagai khalifah ummat Islam.
Di bawah
kondisi umat Islam Indonesia dan Timur Tengah
yang demikian ini, K.H. Ahmad Dahlan, mencari jawabannya dengan kembali pada Al-Quran.
Yang beliau buka justru surat Al Maun, sebuah surat di dalam Al-Quran yang
berjumlah 7 ayat pada pertemuan awal berdirinya Muhammadiyah. Dalam pandangan
Ahmad Dahlan, bangsa Indonesia adalah ibarat anak yatim (107: 2), yang tidak
memiliki pelindung kekuatan politik. Sebagai bagian orang dalam Kesultanan
Yogyakarta, Ahmad Dahlan melihat dengan jelas kerapuhan kekuasaan Sultan:
sekedar penyandang gelar, tetapi kekuasaannya telah dieliminasi. Keadaan
raja-raja di tanah air juga tidak jauh berbeda: tidak memiliki kekuatan
politik.
Dalam kondisi politik seperti
ini, siapa yang akan menjadi pelindung umat yang yatim piatu? Selain umat menjadi yatim piatu, nasibnya
semakin buruk, menjadi buruh miskin yang harus bekerja keras tetapi mendapatkan
upah yang rendah, dan tentu tidak cukup untuk makan (QS 107: 3). Kondisi social
politik yang demikian disebabkan rendahnya tingkat pendidikan bangsa Indonesia.
Pesantren dengan keterlibatannya dalam perlawanan senjata untuk menjawab
serangan fisik militer penjajah, tidak berkesempatan membangun pendidikannya.
Apalagi banyak ulama yang gugur sebagai syuhada. Untuk menjawab problem ummat dan jalan
keluarnya, diperlukan pemikiran yang bijaksana dan arif. Ahmad Dahlan menjatuhkan pilihannya dengan
membangun organisasi yang menangani masalah social pendidikan.
Membangun Lembaga
Pendidikan
Penjajah melalui sistemnya tetap berupaya
melestarikan penjajahnnya di Indonesia. Pendidikan bagi rakyat Indonesia
dipersulit, diperlambat pembangunannya, dan juga dijadikan sebagai sarana
pemecah belah sejak masa kanak-kanak. Sekolah yang didirikan oleh penjajah Belanda
juga berdasarkan perbedaan Bahasa Pengantar, Keturunan, Suku & Agama (Lihat
Tabel 1).
Tabel 1
Sekolah Dasar (Lager Onderwijs) Berdasarkan Perbedaan
Bahasa Pengantar, Keturunan, Suku & Agama
(Suryanegara, 1995)
SD
|
Peruntukan
|
Tahun
Berdiri
|
Sekolah Rendah Eropa (Europeesche Larger School – ELS)
|
Bangsawan, Belanda, & Timur
Asing
|
1818.
|
Westersch
Larger School
|
Orang Barat dengan Pengantar
Bahasa Belanda
|
|
Sekolah Bumi Putera:
1) Indische
School (5
tahun)
2) Volks
School
-Sekolah Desa (3 tahun)
3) Vervolg
School –
sekolah lanjutan sekolah rendah (2 tahun)
4) Schakel
School – sekolah peralihan (5 tahun)
5) Hollandsch
Indische School – HIS (6 tahun)
6) Hoofden
School – Sekolah Raja)
|
-
-
-
Memakai bahasa daerah &
Belanda.
Untuk anak bangsawan &
Belanda (disebut Sekolah Rendah “Kelas satu”)
Untuk Anak Raja
(karena sedikit sekali anak
raja, maka diintegrasikan dengan ELS
& HIS setelah 1914).
|
1907
|
Sekali lagi jika dicermati
sekolah yang didirikan penjajah Belanda, dari SD saja sudah terlihat bahwa
tujuan pendidikan Belanda adalah dalam rangka divide and rule, yaitu membuat
desintegrasi antara Cina, Ambon,
Arab, dengan pribumi. Di samping itu diskriminasi diperluas dengan adanya Hollandsch Chinese School (Sekolah
Rendah Cina), dan Ambonsche Burger-school
(sekolah khusus suku Ambon). Dalam distribusi dana juga terlihat
diskriminasinya: ELS memperoleh subsidi dana f. 2677.000 untuk 2.500 murid, sebaliknya untuk SD hanya memperoleh
f. 1.399.000 untuk 1.62.000 murid atau 75 kali jumlah murid ELS.
Melihat praktik pelaksanaan pendidikan yang demikian, menggugah Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah pada 30 Zulhijjah 1330 H, atau 18 November 1912. Enam tahun kemudian didirikan seksi Majelis Penolong Kesengsaraan Ummat (MPKU) pada 1918. Bukan hal yang mengherankan apabila upaya pembangunan pendidikan bangsa mendapat hambatan yang luar biasa. Pemerintah penjahah Belanda melihat kebangkitan Islam mendapatkan dukungan ulama dan rakyat. Oleh karena itu pemerintah penjajah Belanda berupaya mengganjalnya.
Kehadiran Muhammadiyah sepintas sepertinya bukan gerakan politik, tetapi faktanya melakukan politik pendidikan yang berpengaruh besar terhadap pembentukan pola pikir generasi muda. Di samping itu didirikan kepanduan (kepramukaan) Hisbul Wathan (Cinta Tanah Air), Keputrian Nasyiyatul Aisyiyah, wadah bagi ibu-ibu Aisyiyah, Pemuda Muhammadiyah, Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah, Ikatan Pelajar Muhammadiyah dan tapak Suci Muhammadiyah. Semua organisasi otonom (ORTOM) tersebut adalah sebagai wadah pendidikan kader Muhammadiyah, Kader Ummat, dan Kader bangsa. Ciri Islam menjadi daya tarik yang memungkinkan Muhamadiyah tersebar ke segenap wilayah Indonesia. Sikap Muhammadiyah yang pluralistik sangat membahayakan keberadaan penjahah Belanda. Sikap Muhammadiyah yang membuka diri untuk rakyat, justru semakin mempercepat Muhammadiyah berhasil membangun sekolah sebanyak depalan (8) buah Holland Indische School (HIS), satu Kweekscholl (Sekolah Guru), 32 Indische School (Sekolah Rendah “Kelas Dua”), dan 14 Madrasah. Semua ini terjadi pada tahun 1925.
Melihat praktik pelaksanaan pendidikan yang demikian, menggugah Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah pada 30 Zulhijjah 1330 H, atau 18 November 1912. Enam tahun kemudian didirikan seksi Majelis Penolong Kesengsaraan Ummat (MPKU) pada 1918. Bukan hal yang mengherankan apabila upaya pembangunan pendidikan bangsa mendapat hambatan yang luar biasa. Pemerintah penjahah Belanda melihat kebangkitan Islam mendapatkan dukungan ulama dan rakyat. Oleh karena itu pemerintah penjajah Belanda berupaya mengganjalnya.
Kehadiran Muhammadiyah sepintas sepertinya bukan gerakan politik, tetapi faktanya melakukan politik pendidikan yang berpengaruh besar terhadap pembentukan pola pikir generasi muda. Di samping itu didirikan kepanduan (kepramukaan) Hisbul Wathan (Cinta Tanah Air), Keputrian Nasyiyatul Aisyiyah, wadah bagi ibu-ibu Aisyiyah, Pemuda Muhammadiyah, Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah, Ikatan Pelajar Muhammadiyah dan tapak Suci Muhammadiyah. Semua organisasi otonom (ORTOM) tersebut adalah sebagai wadah pendidikan kader Muhammadiyah, Kader Ummat, dan Kader bangsa. Ciri Islam menjadi daya tarik yang memungkinkan Muhamadiyah tersebar ke segenap wilayah Indonesia. Sikap Muhammadiyah yang pluralistik sangat membahayakan keberadaan penjahah Belanda. Sikap Muhammadiyah yang membuka diri untuk rakyat, justru semakin mempercepat Muhammadiyah berhasil membangun sekolah sebanyak depalan (8) buah Holland Indische School (HIS), satu Kweekscholl (Sekolah Guru), 32 Indische School (Sekolah Rendah “Kelas Dua”), dan 14 Madrasah. Semua ini terjadi pada tahun 1925.
Tabel 2 Jumlah Sekolah
Muhammadiyah Tahun 1925 (Suryanegara, 1995)
Nama
Sekolah
|
Jumlah
|
Tahun
berdiri s/d
|
Holland
Indische School
(HIS),
|
8 buah
|
1925
|
Kweekscholl (Sekolah Guru)
|
1 buah
|
|
Indische
School
(Sekolah Rendah “Kelas Dua”),
|
32 buah
|
|
Kweekschool (Sekolah Guru)
|
1 buah
|
|
Madrasah
|
14 buah
|
Nama-nama sekolah di atas
menggunakan nama yang sama persisi dengan sekolah yang didirikan oleh
pemerintah penjajah Belanda. Yang membedakan adalah kurikulumnya ditambah
dengan pendidikan agama Islam. Sering namanya ditambahkan sehingga menjadi HIS met de Quran. Selain lembaga
pendidikan seperti tersebut di atas, Muhammadiyah semakin meluas
cabang-cabanganya. Pada tahun 1928 terdapat 150, 1929 terdapat 209, dan tahun
1931 terdapat 267 cabang. Poliklinik yang dibangun di Yogya, Surakarta,
Surabaya, malang pada tahun 1929 telah mengobati 81.000 orang, pada saat
masyarakat masih takut kepada dokter, justru Poliklinik Muhammadiyah mendapat
perhatian masyarakat banyak. Jika kita perhatikan Tabel 3 dan Tabel 4 berikut
ini, maka sangat membanggakan jaringan kepemimpinan Muhammadiyah sudah merambah
ke seluruh pelosok negeri. Begitu pula amal usaha berupa lembaga pendidikan dan
klinik Muhammadiyah yang mencapai angka yang spektakuler yang belum pernah
dicapai oleh lembaga swasta manapun.
Tabel 3 Jaringan Kepemimpinan Muhammadiyah
No
|
Kepemimpinan
|
Data Tahun
2010
|
1
|
Pimpinan
Wilayah (PWM)
|
33
|
2
|
Pimpinan
Daerah (PDM)
|
417
|
3
|
Pimpinan
Cabang (PCM)
|
3221
|
4
|
Pimpinan
Ranting (PRM)
|
8107
|
Tabel 4 Jaringan Amal Usaha
No
|
Jenis Amal
Usaha
|
Data Tahun
2010
|
1
|
Sekolah Dasar
(SD)
|
1.176
|
2
|
Madrasah
Ibtidaiyah/ Diniyah (MI/MD)
|
1.428
|
3
|
Sekolah
Menengah Pertama (SMP)
|
1.188
|
4
|
Madrasah
Tsanawiyah (MTs)
|
534
|
5
|
Sekolah
Menengah Atas (SMA)
|
515
|
6
|
Sekolah
Menengah Kejuruan (SMK)
|
278
|
7
|
Madrasah
Aliyah (MA)
|
172
|
8
|
Pondok
Pesantren
|
67
|
9
|
Akademi
|
19
|
10
|
Politenik
|
4
|
11
|
Sekolah Tinggi
|
88
|
12
|
Universitas
|
40
|
13
|
Perguruan
Tinggi ‘Aisyiyah
|
11
|
14
|
Rumah Sakit,
Rumah Bersalin, BKIA, BP
|
457
|
15
|
Panti Asuhan,
Santunan, Asuhan Keluarga
|
318
|
16
|
Panti Jompo
|
54
|
17
|
Rehabilitasi
Cacat
|
82
|
18
|
TK Aisyiyah
Bustanul Atfal
|
2.289
|
19
|
Sekolah Luar
Biasa (SLB)
|
71
|
20
|
Masjid
|
6118
|
21
|
Musholla
|
5080
|
22
|
Tanah
|
20.945.504
|
Sebagai gerakan pembaru, langkah
lanjut Muhammadiyah merintis kerjasama dengan NU membangun Majelis Islam A’la
Indonesia (MIAI) pada tahun 1937. Pada masa penjajahan Jepang, Muhammadiyah
juga berprestasi merintis dan membina organisasi militer Tentara Pembela Tanah
Air, Ulama dan Guru sebagai Komandan Batalyon (1943). Pengaruh organisasi
militan ini sangat besar dalam pembentukan TNI di masa Perang Kemerdekaan
(1945—1950). Pada Muktamar Ummat islam di Yogyakarta pada 7 November 1945
Muhammadiyah ikut serta melahirkan resolusi jihad “60 Miljoen Kaoem Moeslimin Indonesia Siap Berdjihad Perang di Djalan
Allah menentang Tiap Pendjadjahan”, sebagaimana dimuat pada koran Kedaultan
Rakyat, 9 November 1945. Resolusi ini merupakan sumbangan besar yang memastikan
langkah ummat membela proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945. Kehadiran Muhammadiyah di Indonesia
telah berpartisipasi menghantarkan bangsa dan Negara berkat Rahmat Allah Yang
Maha Kuasa memiliki kemerdekaannya. Banyak ormas dan orpol serta lembaga
pendidikan non-Islam yang didirikan sebelum dan sesudah Muhammadiyah, tetapi
kini tinggal kenangannya belaka. Lain halnya dengan Muhammadiyah, yang masih
mampu berkiprah mencerdaskan bangsa melalui berbagai pendidikan yang
dibangunnya. Bangsa ini sekarang ini tidak lagi yatim piatu, walaupun demikian
Muhammadiyah tetap menyantuninya.
BAHAN BACAAN
Steenbrink,
Karel A. 1986. Pesantren, Madrasah,
Sekolah: Pendidikan Islam dalam Kurun Modern.
Jakarta: LP3ES. Hlm. 50—58
Suryanegara,
Ahmad Mansur. 1995. Menemukan Sejarah: Wacana Pergerakan Islam di Indonesia. Bandung: Mizan.
Tim
Penyusun. 2005. Profil Muhammadiyah.
Jakarta: PP Muhammadiyah.
Tim
Penyusun. Sejarah Muhammadiyah.
Diunduh dari: http://www.muhammadiyah.or.id/sejarah-muhammadiyah.html
Majid Wajdi
(1) Alumni (S1) Sastra Inggris FS
Unud Denpasar (1989),
(2) Magister Pendidikan Bahasa,
Undiksha Singaraja (2007) - Beasiswa BPPS
(3) Doktor (S3) Sosiolinguistik,
Program Pascasarjana UNUD – Beasiswa BPPS.
(4) Staf Pengajar Politeknik Negeri
Bali sejak November 1990—sekarang.
Pengalaman Organisasi:
1) Ikatan Pelajar Muhammadiyah
(1978—1979)
2) Sekretaris OSIS MAN Purworejo
(1981—1982)
3) Ketua Komisariat FS HMI Cabang
Denpasar (1984—1985)
4) Ketua Remaja Masjid Nurul Huda
(1986—1989)
5) Ketua Pemuda Muhammadiyah Badung
(1990—1994 & 1994—1998)
6) Ketua Pemuda Muhammadiyah Wilayah
Bali (1998—2002)
7) Ketua Pimpinan Daerah
Muhammadiyah Badung (2000—2005)
8) Ketua KAHMI Badung (2005—2010)
MUHAMMADIYAH: GERAKAN REFORMIS ISLAM INDONESIA
[2]) Alumni (S1) Sastra Inggris FS Unud (1989), Magister
Pendidikan Bahasa (2007), Doktor (S3) Sosiolinguistik, Program Pascasarjana
UNUD. Staf Pengajar Politeknik Negeri Bali (November 1990—sekarang).
a nice paper. good luck
ReplyDeleteFrankly speaking I am new to web-blog. I have to thank my friend who has introduced me to web blog. He guided me how to make email using g-mail. I tried to write some articles. I am still learning how to upload, to edit, to do what I have to do... although I sometimes I have to ask friend or to find some (tips and tricks to write blog) at Google. Google, today, is believed to be the most interesting place to visit, to find some information.... To make me sure what I have to do with my blog, I put my idea in http://mawa2014.blogspot.com. I wrote some tips and tricks in Indonesian.
ReplyDeletemajelis ulama, majelis permusyawaratan rakyat, majelis .......
ReplyDelete