Sunday, July 6, 2014

Masjid-Bisnis, Masjid-Makam, Masjid-Infaq, Sekolah-Masjid Inside

MASJID-MAKAM, MASJID-INFAQ, MASJID-BISNIS, DAN SEKOLAH-MASJID INSIDE
http://mawa2014.blogspot.com
Sekolah-Masjid Inside

Masjid di Bali




Menarik untuk mencermati keberadaan masjid-masjid di Bali. Saya akan menggunakan  empat istilah untuk menggambarkan keberadaan masjid di pulau dewata, pulau para dewa. Keberadaan masjid di Bali mencerminkan pola keberadaan masjid dan pola pemikiran para pengelola masjid. Penulis ingin mengidentifikasi pola masjid menjadi empat pola. Pola pertama adalah Masjid-Makam, kedua Masjid-Infaq,  ketiga adalah Masjid-Bisnis, dan pola keempat adalah Sekolah-Masjid Inside.


Masjid-Infaq

Bali, pulau sejuta pura, ternyata tidak dapat diabaikan dengan keberadaan masjidnya yang terdistribusikan di delapan kabupaten dan satu kota madya. Seperti lazimnya masjid-masjid di daerah lain di Indonesia, masjid di Bali mendapat pasokan dana infaq dari para donatur yang dimasukkan ke dalam kotak infaq yang disediakan. Kotak infaq ini juga selalu diedarkan ketika hari Jumat saat para jamaah duduk dzikir sambil menunggu khutbah Jumah. Kotak Amal ini berupa kotak (dapat terbuat dari kayu maupun dari aluminium yang lazimnya diletakkan di depan pintu masjid, untuk kotak amal permanen, yang tidak usah digeser kesana kemari, karena bentuknya memang cukup besar – besok lengkapi dengan foto kotak amal yang ada di masjid). Ada juga kotak amal yang selalu diedarkan (disodorkan di depan orang yang sedang menunggu waktu ibadah Jumat (khutbah Jumah dan shalat Jumat). Hasil kotak amal ini akan digunakan oleh pengurus masjid untuk membiayai operasional masjid seperti membayar rekening air, rekening listrik, dana kebersihan masjid, dana khotib dll.

Masjid-Makam
 Di Bali, ada beberapa masjid (di bawah Yayasan) yang mengelola jasa tanah makam. Maklum tanah di Bali (khususnya di ibu kota Provinsi dan Badung Selatan) sangat mahal. Untuk itulah Yayasan masjid yang memiliki dan menguasai tanah pemakaman biasanya “membisniskan” makam yang memang sangat terbatas. Masjid yang tidak memiliki tanah makam akhirnya bekerja sama dengan Yayasan Masjid yang memiliki dan mengelola tanah makam. Jamaah masjid yang tidak memiliki tanah makam mewajibkan jamaahnya untuk membayar uang pangkal (seperti sekolah saja) dan membayar iuran yang besarnya ditentukan oleh Yayasan masjid dan pengurus RKI – Rukun Kematian Islam atau Rukun Kifayah Islam.

Masjid-Bisnis
Tidak semua masjid di Bali hanya sekedar mengandalkan donasi jamaah untuk dana operasionalnya. Ada beberapa yang memiliki asset, sehingga untuk mendanai kegiatan masjid dapat diambil dari hasil usaha bisnis.
Ada
dua masjid di Denpasar, yang dapat dikelompokkan kedalam Masjid-Bisnis yakni masjid Baitul Makmur dan Masjid Raya Ukhuwah. Masjid Raya Ukhuwah memang berdiri di tengah-tengah pusat bisnis di jantung kota Denpasar.
Kedua masjid itu, sama-sama memiliki lahan yang bangunannya dikontrakkan kepada para pedagang muslim.

 Masjid Baitul Makmur berdiri sekitar 1980-an, bersamaan dengan dibangunnya komplek perumahan di kawasan Monang Maning, Denpasar.  Saat itu, PT Perumnas menyediakan lahan masing-masing seluas 1.000 meter persegi untuk mendirikan tempat ibadah. 

Tanah yang disediakan untuk ummat Islam sekitar 900 meter persegi, yang kemudian dibangunkan masjid yang diberi nama Baitul Makmur.

 Waktu itu pemerintah melalui Yayasan Amal Muslim Pancasila menyediakan dana untuk membangun masjid yang memiliki luas lahan minimal 1000 meter persegi (www.republika.co.id). Karena tanah yang dimiliki Masjid Baitul Makmur hanya 900 persegi, maka dilakukan pembebasan tanah di sebelahnya. 

Kini Masjid Baitul Makmur memiliki luas lahan sekitar 2.900 meter persegi, dengan bangunan bertingkat tiga.
Karena sehari-hari Masjid Baitul Makmur juga harus membiayai kegiatannya, dari mulai mendanai marbot, mendanai imam masjid dan petugas keamanan, dana imam Jumat atau mubaligh yang mengisi acara kajian Ahad atau hari lainnya. Karena hanya mengandalkan uang kotak amal, Masjid Baitul Makmur merasa kesulitan mendanai kegiatan-kegiatannya. Oleh karena itu  lahan yang masih tersisa dikelola, dijadikan tempat bisnis, berjualan bagi jamaah masjid yang berkenan. Beruntung lokasi Masjid Baitul Makmur berdampingan dengan perguruan Muhammadiyah, yang senantiasa diramaikan wali murid yang mengantar, menunggu dan menjemput anak-anaknya, sehingga sangat laris dijadikan tempat berjualan.

 Ada 20 petak tempat berjualan yang dibuat oleh Yayasan Baitul Makmur dan semuanya habis disewa. Sebulan para pedagang harus membayar Rp 500 ribu atau sekitar enam juta setahun dan itu berarti pemasukan dari menyewakan kios mencapai Rp 120 juta setahun (www.republika.co.id). 
Dibandingkan dengan hasil kotak amal, pemasukan dari menyewakan kios ini terbilang masih kecil. Menurut sumber yang dapat dipercaya, meskipun masih dominan dari hasil kotak amal, pemasukan masjid Raya Ukhuwah yang berada di pusat kota Denpasar itu juga bersumber dari menyewakan toko yang dibangun di lantai bawah masjid.

Persis di bawah mimbar dan tempat shalat imam. Bagian itu berada di sebelah barat, di tepi jalan Sulawesi Depasar yang menjadi salah satu pusat bisnis di Denpasar.

Dengan menyewakan lima kios yang ada, Masjid Ukhuwah bisa mendapatkan pemasukan mencapai Rp 125 juta sebulan, sebagaimana ditulis Republika (www.republika.co.id).
Namun pemasukan itu masih bisa lebih besar lagi, dengan adanya tambahan dari sekolah taman kanak-kanak yang dimiliki masjid itu, sebulannya mencapai Rp 8 juta.

 Selain untuk membiayai kegiatan operasional masjid, dana yang diperoleh Yayasan Ukhuwah juga sebagian disubsidikan ke masjid-masjid lainnya yang memerlukan biaya pembangunan. Namun dana yang diambil adalah dana dari hasil usaha dan dana hasil kotak amal.

 Masjid Ukhuwah  juga memiliki asset tanah wakaf seluas 4000 meterpersegi. Lantaran yang letaknya kuran strategis dan tidak dapat difungsikan, tanah itu dijual dan hasil penjualannya yang mencapai Rp 6 milyar untuk sementara disimpan. 

Dana itu tidak boleh digunakan untuk keperluan lain, terkecuali untuk pengadaan asset tanah. Masjid Ukhuwah yang berusia lebih dari 100 tahun, sempat memiliki usaha koperasi dan tokoh buku, serta toko busana muslim dan muslimah. Namun belakangan usaha itu dihentikan dan tempat usahanya disewakan kepada pihak ketiga (sumber: Republika.com: www.republika.co.id).

Sekolah-Masjid inside
Pola pikir ummat Islam Bali yang menarik dicermati adalah pola Sekolah-Masjid. Mengapa pola yang ditampilkan dalam tulisan ini Sekolah-Masjid?. Kenapa tidak Masjid-Sekolah? Jika kita menyaksikan Masjid-Infaq maka yang tampak dari luar adalah bangunan masjidnya. Sebaliknya dengan sekolah-masjid, yang menonjol adalah lembaga pendidikannya alias sekolah. Menonjol di sini dalam arti, orang luar (baik Muslim maupun non) lebih mengenal sekolahnya dari pada masjidnya. Lihatlah sebagai contoh Perguruan Muhammadiyah Denpasar. Orang luar lebih mengenal sekolah Muhammadiyah, padahal di dalam sekolah itu ada juga masjidnya, masjid inside. Lihatlah misalnya sekolah Muhammadiyah di jalan Imam Bonjol Denpasar, di Jalan Batanta Br. Sebelanga, dan sekolah Muhammadiyah di jalan Halmahera. Masjid inside menjadi trade mark sekolah Muhammadiyah Denpasar Bali (dan juga perguruan Muhammadiyah di Nusantara). 

Masjid-Makam, Masjid-Infaq,  Masjid-Bisnis, Sekolah-Masjid Inside


MASJID-MAKAM, MASJID-INFAQ, MASJID-BISNIS, DAN SEKOLAH-MASJID INSIDE

5 comments: